Laporan Bacaan Buku Pengantar Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono
LAPORAN
BACAAN
A. PENDAHULUAN
Pada bagian ini,
penulis akan mendeskripsikan identitas buku Pengantar Penelitian Sastra
Bandingan karya Sapardi Djoko Damono sebagai
berikut:
Judul Buku : Pengantar Penelitian Sastra
Bandingan
Pengarang : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional
Tahun Terbit : 2005
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : v + 121 halaman
Isi
Ringkas Buku : Dalam buku ini, pengarang menyusun sebanyak 12 bab serta kata
pengantar kepala pusat bahasa dan bahan bacaan. Secara garis besar, dalam buku
ini dibahas mengenai teori serta pengertian sastra bandingan. Tidak lupa juga
di dalam buku ini terdapat contoh-contoh tentang sastra bandingan.
B. ISI
BUKU
Pada bagian ini,
penulis akan melaporkan secara garis besar isi buku yang ditulis Damono
dengan 12 bab, berikut ulasannya:
1.
Bagian
Satu: Pendahuluan
Pada bab ini, Damono menjelaskan mengenai
pendekatan sastra bandingan terhadap penelitian sastra. Dalam penelitian sastra
bandingan, peneliti harus menggunakan pendekatan tersebut agar tercapaii
pemahaman suatu masalah. Dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana sastra lisan
dijadikan penelitian. Pasalnya, pada dasarnya, sastra lisan dianggap tidak
mengenal sastra. Damono juga berharap buku ini bermanfaat bagi yang ingin
memahami sastra terutama bagi apresiasi pada kebudayaan yang telah ada.
2.
Bagian
Dua: Beberapa Pengertian Dasar
Pada bab kedua ini, Damono khusus membahas
mengenai pengertian sastra bandingan. Ada beberapa ahli yang dijadikan Damono sebagai
referensi dalam merumuskan konsep sastra bandingan. Selain itu, Damono juga
membahas mengenai pendekatan penelitian sastra bandingan. Misalnya, konsep sastra
bandingan yang dirumuskan oleh Remak (dalam Damono, 2005: 2) bahwa sastra
bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian
hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti
seni (seni lukis, seni ukir, seni bina, dan seni musik), filsafat, sejarah, dan
sains sosial, asin, agama, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, Damono juga mengutip pendapat Nada
(dalam Damono, 2005: 4), menurutnya karya sastra yang ditulis dalam bahasa yang
sama memberikan ciri pemikiran yang sama dan umum pada bangsa-bangsa yang telah
menghasilkannya karena adanya kesamaan dalam pola pikir dan cara hidup mereka
dalam memandang masalah kehidupan. Oleh karena itu, pada hakikatnya tidak ada
perbedaan asasi antar karya-karya tersebut.
Mengenai pendapat pendekatan yang dikutip
Damono dalam buku ini, Jost (dalam Damono 2005: 8) membagi pendekatan dalam sastra
bandingan menjadi empat bidang, yaitu (1) pengaruh dan analogi, (2) gerakan dan
kecenderungan, (3) genre dan bentuk,
dan (4) motif, tipe, dan tema.
Selain itu, Damono lebih banyak menjabarkan konsep
sastra bandingan. Terlebih lagi, Damono juga menjelaskan mengenai kegiatan sastra
bandingan di luar negeri. Hal itu dilakukan karena Damono seolah ingin
memunculkan penampakan bagaimana kegiatan sastra bandingan di seluruh dunia. Selanjutnya,
Damono mengungkapkan mengenai konsep pendekatan sastra bandingan dengan
berbagai penjelasan yang menarik.
3.
Bagian
Tiga: Perkembangan Sastra Bandingan
Pada bab ini, Damono menjelaskan tentang
perkembangan sastra bandingan yang bermula dilahirkan dan dikembangkan di
Eropa. Namun, hal yang menjadi dasar adalah ahli di Eropa mula-mula
membandingkan kisah-kisah dari mitologi Yunani dan tokoh, tempat, latar dan
peristiwa yang terdapat di kitab Kristen.
Keragaman kebahasaan di Eropa seperti kelompok
bahasa Roman dan Anglo Sakson. Rumpun bahasa Roman mencakup tiga bahasa besar,
yaitu Perancis, Itali, dan Spanyol. Bahasa yang mirip itu menghasilkan kesusastraan
yang berbeda. Sejak ekspansi ke benua-benua lain, bahasa di Eropa berkembang pesat.
Abad ke 19-20 merupakan tahun pertama kali Sainte-Beuve menulis artikel yang
dimuat dalam Reve des dek mondes.
Dalam artikel tersebut dijelaskan cabang studi sastra bandingan baru berkembang
di Perancis pada awal abad ke-19. Hingga abad ke-20 barulah terjadi pengukuhan studi
sastra bandingan dalam jurnal Rvue Ed
Litterature Comparee yang diterbitkan pada tahun 1921. Dalam jurnal tersebut
dimuat karangan-karangan mengenai sejarah intelektual. Terutama dalam melacak
hubungan yang melewati batas-batas kebahasaan.
Pada sastra bandingan di benua Asia, sastra
ditinjau dari segi linguistik dan budaya, berbeda dengan kegiatan sastra
bandingan di Eropa. Hal tersebut karena bangsa Asia memiliki ciri-ciri tersendiri,
seperti aksara, yang tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaan seperti
di Eropa.
Damon mengutip pendapat Kunts (dalam Damon
2005) membagi kebudayaan Asia menjadi tiga tradisi, yaitu pertama Timur Tengah yang berkaitan erat dengan tradisi Eropa dalam
hal sejarah, ilmu alam, dan agama. Kedua,
tradisi sastra Asia Selatan berpusat di India dan menjangkau Teluk Benggala sampai
ke Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Indonesia dan Malaysia, tradisi itu ke selatan menjangkau Sri Langka,
Sri Lanka, dan ke Utara mencapai Nepal, Tibet, dan Asia Tengah. Tradisi sastra
ketiga yaitu Asia Timur bersumber di Cina menyebar ke Jepang, Korea, Mongolia,
dan Vietnam. Hubungan ketiga tradisi boleh dikatakan tidak tampak, terutama
antara tradisi Timur Tengah dan kedua tradisi sastra lainnya.
4.
Bagian
Empat: Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada bab ini, Damono menjelaskan
bahwa kemirisan dalam menemukan kebudayaan yang tidak sepenuhnya asli, termasuk
karya sastra. Hal tersebut diakibatkan perkembangan teknologi yang kian
merambah. Perkembangan teknologi membuat penyebaran karya sastra lebih mudah
dan dapat memberikan inspirasi sastrawan di mana saja untuk berinovasi. Misalnya,
bentuk puisi seperti Sonete dan romance
yang berkembang cukup pesat di kawasan Eropa dan Perancis, termasuk ke Indonesia.
Novel jenis romansa tersebut merupakan bentuk pinjam dari bentuk naratif yang
lainnya.
Perkembangan teknologi membuat
penularan karya sastra dapat berupa “pengaruh” yang dapat berarti secara luas, yaitu bukan hanya sekadar
proses peniruan yang akan menimbulkan karya sastra baru. Artinya, konsep
pengaruh diartikan mulai dari peminjaman sampai ke tradisi. Memang, tidak dapat
dipungkiri bahwa banyaknya karya sastra yang beredar memungkinkan ada yang
plagiat atau tidak asli atau bahkan pinjaman.
Banyak kisah-kisah yang dimunculkan
Damono sebagai pembanding dalam menjelaskan peminjaman bahkan tradisi. Misalnya,
kasus pinjaman cerita Oedipus dan Elektra yang memiliki kesamaan. Namun
keduanya memiliki perbedaan pula. Meskipun inti kedua cerita adalah kisah cinta
terlarang kepada keluarga sendiri. Memang, akhir kedua cerita berbeda-beda. Selain
kedua cerita itu, Damono lebih banyak mengungkapkan kasus-kasus peminjaman dan
konsep peminjaman tersebut.
5.
Bagian
Lima: Terjemahan
Pada bab ini, Damono lebih mengutamakan
banyaknya kasus terjemahan yang bermunculan di
dunia. Damono jauh ke belakang untuk mengungkap terjemahan yang sudah
dilakukan. Misalnya, kasus terjemahan kitab Mahabharata
dan Ramayana yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa. Selain itu, kegiatan penerjemahan banyak dilakukan terutama
pada abad ke-20. Masa itu, banyak karya sastra Eropa yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu, terutama diterjemahkan oleh penerbit Balai Pustaka.
Salah satu yang terpengaruh
terjemahan adalah karya-karya Chairil Anwar. Jejak romantisme yang berkembang
cukup pesat di Indonesia banyak mempengaruhi penyair Indonesia, termasuk
Chairil. Chairil banyak menerjemahkan karya-karya luar dan banyak mengikuti
jejak romantisme tersebut. Salah satu yang terkenal adalah Heusca. Hal inilah yang menjadikan Chairil seolah mampu memberikan
tawaran baru berupa kata-kata yang indah dan menarik.
Namun, hal yang menjadi viral
adalah ketika Chairil mensadur sajak The Young
Dead Soldiers menjadi Kerawang Bekasi.
Banyak yang menganggap Chairil melakukan tindakan plagiarisme pada karya tersebut.
Meskipun demikian, ada yang menganggap Chairli hanya bertindak sebagai
“pengkhianat kecil” yang mensadur karya tersebut sesuai dengan kebudayaan sendiri.
6.
Bagian
Enam: Sastra Bandingan Nusantara
Pada bab ini, Damono menjelaskan
mengenai penelitian sastra bandingan di Indonesia. Banyak hal yang dapat
dilakukan dalam hal meneliti kesusastraan Indonesia. Terutama penelitian sastra
lisan dan tulis yang memiliki aksara tersendiri. Meskipun demikian, tetap
terdapat keterkaitan di antara seluruh karya sastra yang ada di Indonesia tersebut,
berbeda dengan karya sastra di Eropa.
Di Indonesia, perkembangan genre sastra
banyak dipengaruhi oleh luar. Misalnya, genre wiracarita yang berbentuk syair,
kidung, kakawin, hikayat, dan berbagai jenis teater rakyat dan pelipur lara.
Hal yang perlu diperhatikan dalam sastra bandingan adalah penggunaan dan penguasaan
bahasa asli suatu daerah. Pasalnya, banyak karya sastra yang memiliki kesamaan,
tetapi berbeda bahasa.
Dalam bab ini juga Damono lebih
banyak menjelaskan mengenai perkembangan sastra di Indonesia, terutama di Nusantara.
Pasalnya begitu banyak sastra yang berkembang di Nusantara. Damono, dalam bab
ini mengungkapkan berbagai karya sastra lintas daerah, seperti dari tanah
Melayu, Minang, Jawa dan lain-lainnya. Selain itu, terdapat genre yang termasuk
berkembang di Nusantara, yaitu genre didaktik yang khusus berkembang di
masyarakat tradisi.
7.
Bagian
Tujuh: Membandingkan Dongeng
Pada bab ini, Damono membagi dongeng berdasarkan
pengertian barat, yaitu mitos, legenda, dan fabel. Selain itu, Damono menjelaskan
mengenai banyaknya perbandingan yang berobjek dongeng. Tujuan perbandingan itu
adalah untuk mengetahui tentang dongeng yang asli dan pengaruh terhadap negara
lain. Damon juga mengungkapkan tentang tujuan perbandingan itu adalah untuk
mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada pola pikir suatu
masyarakat.
Dalam bab ini, Damono membandingkan dongeng
Oedipus yang berasal dari mitologi Yunani dan Sangkuriang yang berasal dari
Jawa Barat. Kedua cerita rakyat ini memiliki hal-hal yang mirip. Selain persamaan-persamaan
yang dimiliki kedua cerita tersebut, terdapat perbedaan yang cukup mencolok
dari kedua cerita. Perbedaan utama tersebut adalah jika dalam cerita Oedipus,
“tadi” menikahi ibu sendiri terjadi dan sampai memiliki anak. Namun, dalam
cerita Sangkuriang, pernikahan tidak sempat terjadi karena si ibu berhasil
mengungkap kebenaran. Meskipun pada akhirnya Sangkuriang marah hingga kemarahan
itu menyebabkan terjadinya atau terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu.
Selain itu, Damono juga mengaitkan kedua kisah
itu dengan cerita lain yang lebih kuno. Kisah yang mirip ditemukan dalam sastra
Jawa klasik, Babad Tanah Jawi. Meskipun
seolah memiliki kisah yang sama, yaitu “tadi” menikahi ibu sendiri, tetapi
tampak perbedaan yang terdapat di ketiga cerita. Terlebih lagi, dalam kisah sastra
Jawa klasik, terdapat kaitan terhadap penciptaan dunia. Inilah yang menjadi
perbedaan dari penampakan kesamaan dari ketiga cerita-cerita tersebut.
8.
Bagian
Delapan: Dalam Bayangan Tagore
Pada bab ini, Damono menjelaskan mengenai
Rabindranath Tagore. Ia merupakan sastrawan asal India yang mendapat hadiah
Nobel di bidang sastra. Terlebih lagi, Nobel tersebut adalah yang pertama di
kawasan Asia pada tahun 1913. Puisinya yang berjudul Gitanjali merupakan karya yang mutakhir miliknya. Puisi ini sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Selain itu,
karya mutakhir ini mampu mempengaruhi atau menginspirasi begitu banyak penyair
dunia.
Kesusastraan Indonesia juga terpengaruh cukup
besar dengan karya-karya Tagore. Damono menyebutkan bahwa banyak sastrawan Indonesia
yang seolah terikat bayangan Tagore dalam menghasilkan karya. Penyair-penyair
Balai Pustaka (1920-an) seperti Noto Soeroto, Muhammad Yamin dan lainnya
merupakan orang-orang yang pernah mengikuti gaya kepenulisan Tagore. Terlebih
lagi puncak peniruan gaya penulisan Tagore terjadi di Indonesia pada tahun
1930-an dan 1940-an. Orang-orang pada masa ini yang begitu meminati gaya penulisan
Tagore adalah Amir Hamzah, Sanusi Pane, Aoh K. Hadimajah, dan lain-lainnya.
Dalam bab ini, Damono lebih banyak menampakkan
orang-orang yang meniru gaya penulisan Tagore. Namun, hal yang disayangkan
adalah hanya dua dari sekian banyak karya Tagore yang begitu lekat mempengaruhi
gaya penulisan mereka. Kedua karya itu adalah Gitanjali dan Tukang Kebun.
Hingga akhir bab, Damono lebih banyak menjelaskan beberapa penyair dengan gaya
penulisan yang mirip Tagore. Bahkan, Damono juga memunculkan analisis mengenai
perbedaan penerjemahan karya Tagore yang telah diterjemahkan penyair Indonesia.
9.
Bagian
Sembilan: Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia
Pada bab ini, Damono menjabarkan pengaruh
romantisme terhadap pola pikir penyair di Indonesia. Damono menjelaskan
penyair-penyair di Indonesia mulai terpengaruh terhadap penyebaran jejak
romantisme yang merambat dari dunia Barat hingga seluruh dunia. Hal ini tampak
jelas ketika karya-karya penyair Indonesia lebih menekankan perasaan dan
membebaskan pola pikir yang terkekang. Artinya, lebih ringkas, mereka lebih
mengutamakan pola pikir yang membebaskan individu atas sikap sosial dan politik
yang mengekang.
Disebutkan Damono, pada tahun 1920-an sudah
mulai muncul jejak romantisme di Indonesia. Hal itu ditandai di dalam majalah
Pujangga Baru yang memuat karya-karya nasionalisme, idealisme, dan individualisme
(romantisme termasuk). Selain itu, Pane merupakan salah satu penganut aliran
romantisme ini. Dalam karya yang ditulisnya, tersebutkan bahwa hal-hal yang
bernama kebudayaan, hasil budi daya manusia, tidak berarti dibandingkan perasaan
yang terdapat dalam diri.
Cerita-cerita yang lahir masa itu juga tampak
memiliki jejak romantisme. Misalnya cerita rekaan dan drama yang diterbitkan
oleh penyair yang memilih latar atau negeri yang jauh. Jika kita memperhatikan
persamaan dan perbedaan pada karya-karya itu, kita dapat melihat perkembangan
dan mendapat pemahaman atas cerita tersebut.
10.
Bagian
Sepuluh: Gatotkoco, Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Pada bab ini, Damono menjelaskan tentang
perbandingan antara sajak modern yang ditulis Goenawan Mohammad, yaitu Gatoloco dengan kitab klasik Jawa yang berjudul sama. Sajak yang
ditulis Mohammad berkaitan erat hubungan antara manusia dan Tuhan. Terdapat
lima jenis hubungan yang menjadi masalah utama manusia, yaitu hubungan dengan
Tuhan, alam, masyarakat, manusia, dan dirinya sendiri.
Sajak Mohamad tersebut merupakan pinjaman
terhadap kitab klasik Jawa tersebut. Selain itu, terdapat pinjaman yang
dilakukan Mohamad untuk mengungkapkan posisi manusia terhadap penciptanya.
Penggambaran latar, metafora, dan segala bentuk dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari
oleh Mohamad. Bahkan, kitab itu dikaitkan oleh para peneliti dalam diskusi yang
menghubungkan antara Islam dan kepercayaan Jawa. Selain itu, penelitian sastra
bandingan yang dilakukan nantinya akan menambah pemahaman yang lebih baik
mengenai sajak modern ini dan posisi manusia serta hubungannya dengan Sang
Pencipta.
11.
Bagian
Sebelas: Alih Wahana
Pada bagian ini, Damono menjelaskan mengenai
konsep alih wahana. Menurut Damono, alih wahana adalah perubahan dari satu jenis
kesenian ke jenis kesenian lain. Banyak karya sastra yang dapat dialihwahanakan
ke berbagai media, seperti cerita rekaan yang dapat menjadi seni tari, drama,
dan film, sedangkan puisi bisa diubah menjadi lagu atau lukisan. Dengan
kegiatan membanding-bandingkan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra
bersifat elastis. Artinya, dapat dibawa ke sana ke mari.
Dalam bab ini, Damono lebih banyak menjelaskan
perjalanan alih wahana di Indonesia. Di mulai dari kesenian ketoprak atau kesenian
jalanan. Hingga kesenian berupa pertunjukkan panggung besar dan perfileman. Selain
itu, Damono juga menjelaskan bagaimana resepsi masyarakat antara melihat karya
yang dipertunjukkan dengan membaca murni karya tersebut. Misalnya, karya Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang
dialihwahanakan menjadi film. Damono menganggap adanya perbedaan resepsi yang
muncul di masyarakat terhadap karya Rusli tersebut.
Kemudian, Damono menjelaskan perjalanan Shakespare
dalam membuat pertunjukkan drama. Damono juga menjelaskan perbedaan yang
terdapat antara ketoprak (tanpa naskah) dengan drama versi Shakespare yang membutuhkan
kematangan naskah dan cerita. Meskipun akhirnya dikembalikan lagi kepada tokoh
yang harus mampu mengembangkan alur dan plot. Bahkan, perbedaan yang mencolok
dari kedua seni pertunjukkan tersebut adalah panggung yang menjadi media utama.
Seni pertunjukkan drama yang dibuat Shakespare memiliki konsep panggung yang
begitu megah dan sangat berbeda dengan seni pertunjukkan ketoprak jalanan.
Namun, hal yang menjadi luar biasa adalah pertunjukkan tersebut mampu memuaskan
hasrat penonton.
Damono menyimpulkan bahwa kajian alih wahana
dalam sastra bandingan tidak akan pernah habis dibicarakan. Pasalnya, perkembangan
teknologi modern mampu mempengaruhi perluasan kajian sastra bandingan. Namun,
yang perlu diingat adalah adanya pancar indra yang membantu penelitian tersebut.
12.
Bagian
Dua Belas: Penutup
Pada bab terakhir ini, Damono memaparkan
penelitian sastra bandingan yang memiliki lima
pendekatan, yaitu tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan sastra
dengan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan perubahan sastra sebagai bahan
perkembangan teori. Berikut penjelasan kelima pendekatan yang dikutip Damono.
a. Tema/mitos,
dalam karya sastra tradisi, terdapat kelahiran,
cinta, kerinduan, keputusasaan, kebahagiaan, ketimpangan sosial, dan kematian
yang ditemukan di kalangan masyarakat. Hal tersebut membuat masyarakat
menciptakan dongeng dengan tujuan agar menapat jawaban atas pertanyaan tersebut.
Misalnya, perbandingan kisah Romeo dan Juliet yang ditulis Shakespare dan Roro
Mendut yang ditulis J.B. Mangunjawijaya yang dapat diteliti.
b. Genre/bentuk,
karya sastra memiliki bermacam-macam genre. Misalnya
Soneta yang diminati pada abad ke-13 di Italia, bahkan menyebar ke seluruh
dunia. Selain itu, perkembangan genre tersebut tentu dapat diteliti melalui persamaan
dan perbedaannya.
c. Gerakan/zaman
yang dipengaruhi oleh mazhab dan gerakan atau zaman. Pada dasarnya tidak ada
yang mampu melepaskan diri dari pengaruh zaman.
d. Sastra
dan bidan seni serta disiplin ilmu. Tidak dapat dipungkiri, sastra berkaitan
erat dengan bidang seni lainnya. Misalnya saja kegiatan alih wahana yang sudah
dibahas sebelumnya. Kegiatan tersebut membandingkan karya sastra dengan bidang seni
lainnya.
e. Sastra
sebagai lahan pengembangan teori. Pada perkembangan teori sastra, hal itu lahir
setelah adanya kemunculan karya sastra. Misalnya, teori resepsi yang mampu
mengungkapkan penerimaan masyarakat atas karya sastra.
C. KOMENTAR
Pada buku yang
ditulis Damono ini, penjabaran materi dijelaskan dengan
begitu apik dan mudah dipahami. Bagi penelitian sastra bandingan, buku ini
dapat dijadikan salah satu referensi untuk menambah teori yang dibutuhkan. Selain
itu, kehadiran contoh pembandingan yang ditulis Damono semakin membuat buku ini
menarik. Artinya, pemaparan teori serta contoh dijelaskan dengan baik dan mudah
dipahami.
Namun, penulis membandingkan buku
yang ditulis Damono dengan buku Endaswara. Buku tersebut berjudul “Metode
Penelitian Sastra Bandingan” yang diterbitkan pada April 2011. Buku ini
merupakan cetakan pertama yang diterbitkan oleh Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Perpustakaan Nasional dan memiliki ketebalan xi + 235. Dalam buku ini terdapat sembilan
bab serta daftar pustaka dan indeks. Endaswara pada bab pertama menjelaskan
hakikat sastra bandingan.
Secara keseluruhan, buku yang
ditulis Endaswara ini memiliki kelebihan berupa penjelasan teori penelitian sastra
bandingan yang lebih kompleks dan luas. Berbeda dengan buku yang ditulis Damono
yang hanya memaparkan teori dasar mengenai sastra bandingan saja. Selain itu,
kedua buku ini memiliki kesamaan berupa penjelasan yang mudah dimengerti serta
pencantuman contoh-contoh perbandingan yang diperlukan.
Buku yang ditulis Endaswara memilik
daya tarik dari segi penjabaran materi yang cukup baharu. Memang, jika melihat
perbedaan terbitan kedua buku ini, tentu buku yang ditulis Endaswara yang
terbit pada 2011 memiliki keunggulan berupa materi yang lebih baharu. Berbeda
dengan buku yang ditulis Damono yang terbit pada 2005. Namun, kesan pertama
membaca kedua buku ini adalah penulis merasa kedua buku ini memberikan manfaat
yang begitu besar. Terlebih lagi dalam hal pendalaman teori mengenai sastra
bandingan.
D. PENUTUP
Pada buku yang
ditulis Damono, penulis dapat menyimpulkan bahwa buku ini
mampu memberikan sumbangan yang cukup dalam pendalaman teori sastra bandingan.
Pasalnya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, buku ini memiliki
penjabaran teori dan pemaparan contoh yang cukup baik dan mudah dipahami. Selain
itu, kelebihan lainnya adalah buku yang ditulis Damono cenderung membahas
mengenai sastra bandingan yang paling dasar. Oleh karena itu, bagi peneliti
pemula seharusnya membaca buku ini sebagai bahan dasar dalam memahami teori sastra
bandingan.
Namun, dari seluruh kelebihan tersebut,
penulis memiliki saran kepada buku yang ditulis Damono agar menambah teori dasar
mengenai sastra bandingan. Pasalnya, penulis cukup kesulitan menyimpulkan
teori-teori lain yang tidak ditemukan dalam buku ini. Oleh karena itu, alangkah
lebih sempurna jika buku ini memiliki teori yang lebih daripada saat ini. Selain
itu, penulis juga menyarankan agar para peneliti muda yang ingin mendalami ilmu
sastra bandingan agar membaca dan menjadikan buku ini sebagai referensi.
DAFTAR
PUSTAKA
Damono, Sapardi.
2005. Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Endaswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan.
Jakarta: Buku Pop Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).
Komentar
Posting Komentar