Sejarah Jurnalistik di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Perkembangan
zaman maupun teknologi dewasa ini membuat seseorang harus mendapatkan informasi
yang cepat dan akurat demi mengimbangi perkembangan yang terus berjalan pesat.
Pers menjadi alternatif yang sangat signifikan dalam mengimbangi kebutuhan
seseorang untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat tersebut.
Dengan dunia
yang tanpa batas ini, semua informasi yang ada di belahan dunia manapun akan
dengan mudah dapat kita konsumsi. Perkembangan tersebut juga menuntut pers
melakukan revolusi demi menyamaratakan informasi yang beredar. Pers harus terus
berupaya menyediakan informasi yang cepat dan terpercaya, baik yang berada di
dalam pemerintahan sekalipun hingga di dalam pelosok suatu daerah.
Tuntutan
yang demikian membuat tantangan tersendiri bagi pers, terutama orang-orang yang
memiliki ketertarikan di dunia pers. Lapangan perkerjaan pers juga cukup
menjanjikan karena kini pers sudah semakin transparan dan sudah sangat stabil
perkembangannya.
Namun, setiap
hal memiliki sejarah. Begitu juga pers di Indonesia yang sudah mengarungi
berbagai macam sejarah dalam perkembangannya. Pers di Indonesia yang telah
banyak mengalami luka badan demi memberikan informasi. Hingga pers di Indonesia
sempat terseret arus-arus politik yang pernah melintas di Bumi Pertiwi ini. Hal
tersebut membuat keadaan genting yang cukup menegangkan dalam dunia pers.
Keadaan yang menjadi pelajaran berharga bagi dunia pers nasional.
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
Dari
penjabaran latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana
perkembangan pers di dunia?
b. Bagaimana
perjalanan perkembangan pers di Indonesia?
c. Apa saja
rintangan yang telah dilewati oleh pers nasional?
1.3.
TUJUAN
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Memberikan
informasi dan pengetahuan tentang sejarah pers di dunia maupun di Indonesia
b. Memberikan
informasi dan pengetahuan kepada pembaca agar mengetahui perjalanan pahit pers
nasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PERKEMBANGAN PERS DAN JURNALISTIK DI DUNIA
Jurnalistik berasal dari kata acta diurna yang tertera pada pada suatu
tempat yang bernama Forum Romanum di
Romawi pada tahun 100-44 SM di masa pemerintahan Julius Caesar. Julius Caesar
menyediakan tempat tersebut untuk menyediakan laporan singkat rapat senat,
atapun hal-hal yang menarik khalayak umum, dan/atau untuk perkembangan berita
aktual yang bermanfaat bagi anggota senat maupun masyarakat.
Meskipun pada masa Romawi sudah
tersedia media pemberitaan seperti yang terjelaskan di atas. Menurut Yanuar
Abdullah daklam Dasar-dasar Kewartawanan,
perkembangan pers dalam bentuk cetak seperti surat kabar ataupun majalah baru
dimulai sejak ditemukannya mesin cetak pertama kali pada tahun 1450 oleh Joham
Gutenbuerg di Jerman. Perkembangan pers dan jurnalistik sangatlah berkaitan
dengan perkembangan mesin cetak.
Perkembangan awal pers di dunia
dimulai dengan terbitnya surat kabar Avisa
Relation Order Zaitung di Eropa pada tahun 1609 yang memiliki kantor di
kota Wolfenbuttel.
Pada tahun 1618, di kota Amsterdam,
Belanda, terbit surat kabar Courante
Miju Italien Duijsbladtee milik Casper Van Hibben. Kemudian disusul Janszen
yang menerbitkan surat kabar Tijdighe
Mijn Verathi de Qualteren di kota yang sama.
Sedangkan di Inggris, surat kabar
berkembang diawali dengan terbitnya surat kabar Courant of General News pada tahun 1622. Selanjutnya di Perancis
sekitar tahun 1931 terbit surat kabar Gasette
oleh Theopraste. Sedangkan di Amerika, pada tahun 1704 terbit surat kabar
mingguan bernama The Boston News.
Surat kabar yang pertama kali terbit
secara rutin di Eropa ialah Leiziger
Zeitung di Jerman pada tahun 1660. Selanjutnya Inggris juga menerbitkan
surat kabar harian bernama Daily Courant.
Diikuti Perancis menerbitkan Journal
deParis pada tahun 1777, kemudian Amerika dengan Pensylvanin Packet pada tahun 1784.
2.2. PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA
1. Pada Masa
Penjajahan Belanda
Perkembangan pers di Indonesia dimulai sejak terbitnya surat kabar
pada masa penjajahan Belanda yakni yang bernama Bataviasche Nouvelles en Politieque Raisounnementen yang berbahasa
Belanda di masa pemerintahan Van Imhoff pada 7 Agustus 1744. Berikutnya pada
masa pemerintahan Deandels terbit surat kabar Javasche Courent pada tahun 1829 dan surat kabar De Baviasche Koloniale Courant pada
tahun 1836.
Kemudian terbit surat kabar
berbahasa melayu yakni Slompret Melajou
di Semarang pada 1860, mingguan Bintang
Timoer pada 1862, surat kabar Bianglala
di Jakarta pada 1867, surat kabar Pelita
Ketjil di Padang pada 1882 (berubah menjadi Warta Berita), surat kabar Perctja
Timoer di Medan pada 1902, dan Medan
Prijaji di Bandung pada 1907 (kemudian berubah menjadi suraat kabar harian
pada 1910).
Meskipun telah banyak surat kabar
yang bermunculan ketika itu, namun menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (1990: 291), yang menjadi pelopor pers nasional adalah
surat kabar Medan Prijaji. Alasan
mereka menyebut demikian karena pada masa itu surat kabar Medan Prijaji dipimpin oleh seorang priyayi bernama R.M.
Tirtoadisuryo dan berkaitan berdirinya Boedi Utomo yang juga dipelopori oleh
para priyayi. Dengan begitu saling mendukung dalam menimbulkan rasa
nasionalisme di Indonesia.
Awal tahun 1920 telah tercatat
sekiat 400 penerbitan yang menampilkan wajah dan warna nasional di seluruh
Indonesia. Di antaranya mingguan Boemi
Poetra pada juli 1909 yang dipimpin oleh Sutan Muhammad Salim di Jakarta, Pewarta Deli di Medan pada tahun 1910
oleh Dia Endar Muda, dan Benih Merdeka
di Medan pada 1916 oleh seorang tokoh Sarikat Islam, Mohammad Samin.
Hingga setelah tahun 1920-an surat
kabar yang bercorak nasional semakin menjamur jumlahnya. Beberapa di antaranya
yaitu, Sora Mardika pada 1920 di
Bandung, Sipatahoenan pada 1923
masih di Bandung, Sora Ra’jat Mardika
tahun 1931, di Medan terbit surat kabar Matahari
Indonesia dan Sinar Deli pada tahun 1928, dan Panji Islam dan Pedoman Masyarakat pada tahun 1934 dan 1935.
Menurut
FX. Koesworo, dkk (1994: 8) terdapat dua penerbitan yang terkenal pada masa
perjuangan politik nasional yakni pertama Fikiran
Ra’jat terbit di Bandung, di surat kabar tersebutlah Soekarno menerbitkan
tulisan-tulisannya yang menentang penjajahan. Kedua adalah surat kabar Daulat Ra’jat yang terbit di Jakarta
dan di surat kabar inilah Mohammad Hatta juga banyak menerbitkan karyanya yang
menentang penjajahan.
Setelah Kongres Pemuda yang pada 28
Oktober 1928 usai dan menghasilkan Sumpah Pemuda, pers mulai mempunyai peranan
dalam menyebarluaskan ide-ide kemerdekaan. Akibatnya, pemerintah Belanda
terpaksa melembagakan politik pengengkangan. Pertengahan September 1931,
Belanda mulai memberlakukan Persbreidel
Ordonantie yang membuat surat kabar-surat kabar pergerakan tersebut
mengalami pemberangusan. Wartawan dan para penulis nasional pun banyak yang
dijatuhkan hukuman oleh pemerintah Belanda. Namun, perjuangan Indonesia untuk
menyebarluaskan pergerakan tidak hanya sampai di situ, pada 13 Desember 1937
tokoh-tokoh pers Indonesia kembali mendirikan kantor berita nasional Antara,
yang memiliki fungsi menyiarkan berita-berita yang menunjang pergerakan
nasional demi mencapai kemerdekaan.
2. Pada Masa
Penjajahan Jepang
Ketika masuknya Jepang ke Indonesia yang mampu membuat Belanda
hengkan dari bumi pertiwi dan tidak hanya menguasai seluruh wilayah bumi
pertiwi, namun juga mampu menguasai kantor-kantor media komunikasi seperti surat
kabar, kantor berita, majalah dan lainnya yang ada di bumi pertiwi. Hal
tersebut tentunya berdampak pada pemberhentian operasi atau harus mengubah nama
kantornya sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak Jepang.
Keberlangsungan penguasaan tersebut sesuai yang ditetapkan Jepang
pada Undang-undang Pemerintah (Osamu Seiri) No. 16 tentang Pengawasan
Badan-badan Pengumuman dan Peneringan dan Penilikan Pengumuman dan Penerangan.
Pasal 3 tersebut berbunyi, “Terlarang menerbitkan barang tjetakan yang
berhoeboengan dengan pengoemoeman ataoe penerangan baik jang beroepa penerbitan
setiap hari, setiap minggoe, setiap boelan maoepoen penerbitan dengan tidak
tertentoe waktoenya, ketjuali oleh badan-badan jang soedah mendapat izin.”
Bulan April 1942 terbit surat kabar Asia Raja menggantikan surat kabar Tjahaja Timoer dan surat kabar Pemandangan
yang tidak dapat diterbitkan lagi di Jakarta, yang dipimpin oleh Sukarjo
Worjopranoto. Sedangkan menurut Marwadi Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto
dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid V
(1990: 55), surat kabar yang terbit setelah Jepang masuk adalah surat kabar Soeara Asia yang menggantikan surat
kabar Soera Oemoem di Surabaya dan
beberapa surat kabar lainnya di seluruh wilayah Indonesia.
Pada masa kependudukan Jepang, selain ada surat kabar yang
diizinkan Jepang dan siaran resmi pemerintahan Jepang, terdapat sebuah siaran
ilegal yang dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia untuk menngobarkan
semangat perjuangan demi kemerdekaan. Namun ketika diaran tersebut diketahui
oleh pihak Jepang, wartawan-wartawan tersebut pun ditangkap.
Meskipun banyak mendapat pertentangan dari pihak Jepang, pers
khususnya surat kabar memiliki peranan penting dalam menyebarluaskan serta
meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia melalui tulisa-tulisan para
tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pada masa Jepang memimpin, pers
memiliki perann dalam membangkitkan kesadaran nasional, pemberi inspirasi,
penggugah cita-cita dan penggelora semangat perjuangan menuju kemerdekaan
Indonesia.
3. Pers Pada
Tahun 1945-1950
Setelah kekalahan Jepang kepada sekutu yang membuat Indonesia
memiliki kesempatan untuk memproklamasikan kemerdekaanya, pers memiliki peran
untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia. Hal tersebut demi
mengusir para kolonialis dengan sekutu-sekutunya yang mencoba kembali menduduki
Indonesia.
Beberapa surat kabar mulai kembali mengibarkan namanya. Terbukti
surat kabar yang pertama terbit setelah proklamasi 17 Agustus 1945 ialah Berita Indonesia pada 6 September 1945.
Kemudian disusul oleh harian Merdeka
pada 1 Oktober 1945 yang di pimpin oleh B.M. Diah dan diikuti oleh surat
kabar-surat kabar lainnya.
Sejak masuknya kembali tentara sekutu pada awal 1946, pers
nasional mengalami kemunduran. Sekutu menghanguskan surat kabar Pers Republiken. Inggris memaksa Sinar Deli di Medan untuk berhenti
beroperasi dan Perwarta Deli pun
mengalami hal yang serupa pada Mare 1946. Percetakan Soeloh Merdeka diduduki oleh Inggris dan Oetoesan Sumatera di Padang dibumihanguskan oleh serdadu Inggris.
Hingga kantor berita Antara mengalami nasib serupa yang dibumihanguskan oleh
serdadu Belanda.
Meskipun kembalinya sekutu ke Indonesia yang membuat banyaknya
kecaman bagi pers dan para wartawan, ada beberapa surat kabar yang masih tetap
terbit seperti Soember, Pemandangan, dan Pedoman (di Jakarta), Waspada
(di Medan), Tjahaja Padang (di
Padang), dan lain-lainnya. Selanjutnya surat kabar yang bergerak untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia ialah Merah
Putih, Soeara Rakjat di
Surabaya, Siaran Daerah di Malang, Menara Rakjat di Sumatera Tengah, Geriliya Rakjat dan Berita Geriliya di Yogyakarta.
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto
(1990: 201), jumlah surat kabar di Indonesia selama Agresi Militer Belanda II
berdasarkan lapiran Unesco sampai April 1949 adalah 81 dengan oplahnya 293.000
eksemplar perhari dengan rata-rata 500 sampai dengan 5000 eksemplar per hari.
Jumlah oplah ini tercatat menurun dibanding dengan kahir Desember 1948, yaitu
tercatat 124 surat kabar dengan oplahnya sekitar 405000 eksemplar per hari.
(Ermanto, 2005: 13)
4. Pers Pada
Tahun 1950-1959
Perkembangan pers pada masa ini sangat dipengaruhi oleh keadaan
bangsa Indonesia, di mana pada 17 Agustus 1950 Indonesia resmi menghapus Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan berganti kepada Undang-undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950.
Surat kabar lebih banyak turut mengambil andil dalam pertentangan
hasil KMB hingga ikut terlibat dalam perkembangan partai-partai yang berada
dalam kabinet maupun di dalam parlemen.
Kondisi negara yang liberal turut menodai pers di Indonesia. Bagi
siapapun yang memiliki uang, dapat menerbitkan surat kabar dan tidak perlu
meminta izin kepada pihak yang berwenang. Hal tersebut tentu menimbulkan
perlombaan dalam menghadirkan surat kabar yang nyata memiliki kebebasan dalam
berbagai hal termasuk parta-partai oposisi yang berada di luar pemerintahan
menggunakan surat kabar untuk menyatakan ketidakpuasan mereka kepada
pemerintahan. Salah satunya surat kabar Indonesia
Raja yang gamblang saja menyebarkan berita-berita berlatar belakang
pertentangan maupun penyelewengan kepada pemerintahan.
Beberapa surat kabar yang lahir pada masa liberal ini yaitu, Harian Rakjat (PKI), Pedoman (PSI), Suluh
Indonesia (PNI), Abadi (Masyumi)
dan lainnya yang terbit di Jakarta. Selain itu ada beberapa surat kabar daerah
yang turut hadir yakni Daulat Rakjat,
Tempo, Tanah Air, Suara Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakjat, Hidup (Yogyakarta), Harian Utama, Suara Rakjat, Surabaya Post (Surabaya).
Banyaknya serangan pers oposisi kepada pemerintahan membuat 20
tindakan kali pemberangusan di Jakarta pada 1957. Tahun 1958, jumlah
pemberangusan meningkat yakni sebanyak 40 kasus termasuk penahanan para
wartawan. Hingga pada awal 1959 telah terjadi 25 pemberangusan di Jakarta dan 6
di bebagai kota oleh Penguasa Perang Tertinggi selaku pelaksana keamanan dan
ketertiban.
Kemudian pada tanggal 1 Oktober 1958 pemerintah menetapkan
beberapa peraturan berkaitan dengan penerbitan pers, seperti harus mendapat
izin terbit, membatasi jumlah halaman, dan volume iklan yang juga dibatasi.
5. Pers Pada
Tahun 1959-1965
Di masa ini, pers benar-benar mengalami pelemahan. Hal tersebut
terlihat ketika Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 di mana
kebijakan tersebut menimbulkan konflik-konflik berupa praktik-praktik politik.
Akhirnya presiden memutuskan untuk menciptakan tiga aliran demi menguasai
politik yakni nasionalisme, agam, dan komunis (lebih dikenal Nasakom) baik
dalam lembaga maupun organisasi masyarakat. Yang kemudian pidato Presiden pada
17 Agustus dikenal dengan Manifesto Politik dan ditetapkan sebagai GBHN.
Sejak tahun 1960, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pers.
Pertama, Peraturan Perperti No. 3/1960 melarang penerbitan pers dalam bahasa
asing terutama berbahasa China, namun kemudian diubah hingga dua koran China (Hou Chi Pao/Api Revolusi dan Che Chi Pao/Obor Revolusi) diizinkan terbit. Kedua, Peraturan Perperti No.
10/1960 mengharuskan penerbitan pers untuk mendapatkan izin terbit agar
mematuhi prinsip yang ditentukan, di antaranya harus mendukung manifes. Ketiga,
Peraturan No. 2/1961 menetapkan percetakan pers sebagai alat untuk
meyebarluaskan Manipol. Keempat, Dekrit presiden No. 6/1963 menekankan tugas
pers untuk mendukung demokrasi terpimpin.
Surat kabar dan majalah yang tidak bersedia mengikuti demokrasi
terpimpin harus tersingkir maupun menyingkir. Persyaratan untuk memperoleh
Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC) diperketat oleh pemerintah.
Semua surat kabar diharksn untuk mengajukan permohonan izin tersebut, sekaligus
harus mendukung Manipol Usdek. Pedoman resmi untuk penerbitan surat kabar dan
majalah dikeluarkan tanggal 12 Oktober 1960.
Dengan keadaan yang semakin genting, pemerintah mudah saja
menentukan mana surat kabar dan majalah yang tidak disenangi untuk ditindak.
Surat kabar Masyumi, Abadi salah
satu yang menghentikan penerbitannya dengan alasan tidak setuju dengan
peraturan tersebut. Harian Pedoman
dan Nusantara adalah surat kabar
yang SIT-nya dicabut meskipun sudah memenuhi syarat terbit. Kemudian disusul
oleh surat kabar Keng Po, Pos
Indonesia, dan Star Weekly yang
turut diberhentikan penerbitannya. (Fx. Koesworo, dkk, 1994: 24 dan Mrwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1990: 379).
Suasana tersebut membuat surat kabar-surat kabar PKI semakin
meraja di dunia penerbitan seperti Harian
Rakjat, Bintang Timur, dan Warta
Bhakti. Kemudian PKI turut menerbitkan surat kabar lainnya seperti Bintang Muda, Mingguan Sport, Harian Rakjat
Minggu, dan Zaman Baru. Hingga
organisasi profesi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia berhasil
dimonopoli oleh PKI, termasuk Serikat Penerbit Surat kabar (SPS) dan kantor
Berita Indonesia.
Situasi yang semakin mencemaskan membuat wartawan-wartawan senior
anti PKI mendirikan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) pada 1 September 1964 di
Jakarta yang dipimpin oleh Adam Malik.
Dengan berdirinya BPS, banyak surat kabar yang mendukung
pergerakan tersebut seperti Pikiran
Rakjat (Bandung), Tempo
(Semarang), Kedaulatan Rakjat
(Yogyakarta), Suara Rakjat
(Surabaya), Waspada (Medan), dan
lain-lainnya.
Kehadiran BPS yang mendapat dukungan dari masyarakat membuat PKI
naik pitam. PKI mencacimaki dan memfitnah BPS. Kemudian Presiden Soekarno
didesak dan terus ditekan untuk membubarkan BPS. Akhirnya, Presiden Soekarno
bersabda pada Februari 1965, “. . . melarang semua aktifitas BPS dan mencabut
izin terbit semua surat kabar BPS.” Beberapa bulan selanjutnya PKI melakukan
pergerakan yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau tragedi Lubang Buaya.
6. Pers Sesudah
Tahun 1965
Setelah PKI dibumihanguskan oleh ABRI dan masyarakat, pemerintah
Orde Baru berdiri. Hal tersebut memberi angin segar dan kembali bangkit bagi
dunia pers Indonesia. Ketetapan Sidang Umum MPRS IV pada 1966 menyatakan
kebebasan pers Indonesia addalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan
kebenaran dan keadilan dan bukanlah kebebasan menurut liberalisme. Kebebasan
tersebut berkaitan dengan keharusan adanya pertanggungjawaban.
Pers nasional semakin tampak keberadaanya dengan disahkannya
Undang-undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang
kemudian direvisi lagi dengan Undang-undang No. 4 tahun 1967. Kehadiran Orde
Baru yang dipimpin oleh presiden Suharto membuat dunia pers berkembang secara
fundamental dengan mewujudkan Undang-undang No. 21 tahun 1982 sebagai
penyempurnaan Undang-undang No. 11 tahun 1966.
Kehidupan pers yang semakin berkembang sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta perkembangan yang ada di masyarakat,
bangsa dan negara. Hal tersebut membuat pers semakin populer yang kemudian
dikenal dengan pers Pancasila.
7. Pers setelah
Reformasi (1998)
Berakhirnya masa Orde Baru semakin membuat pers nasional melayang
di udara. Kebebasan untuk penerbitan tanpa pengurusan surat izin
dikumandangkan. Surat kabar dan majalah semakin banyak yang beredar dengan
bebas, namun tidak semua mampu bertahan lama.
Keadaan tersebut harus dikendalikan oleh pemerintah, Undang-undang
Pokok Pers No. 4 tahun 1982 tak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Maka harus digantikan oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 40 tahun
1999 tentang Pers. Undang-undang tersebut memiliki sepuluh bab dan 21 pasal
yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia BJ. Habibie pada 23 september
1999.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Di Indonesia, selain sebagai sumber
informasi, per juga memiliki peran penting dalam penyebaran rasa nasionalisme.
Penulis-penulis yang menentang penjajahan selalu menghadirkan tulisannya di
surat kabar-surat kabar. Tidak hanya penting pada masa penjajahan, namun juga
berperan aktif dalam penyebaran informasi ketika Indonesia sudah merdeka. Pers
yang turut terkait dengan dunia politik masa itu sempat terombang-ambing dengan
peraturan yang ada.
Kebebasan pers yang terus
diperjuangkan oleh para wartawan-wartawan nasional tidaklah melewati jalan yang
mudah. Tidak sedikit kantor-kantor pers yang dibumihanguskan dan tidak sedikit
para wartawan tersebut ditahan oleh pemerintah yang bertahan.
Akhirnya kebebasan pers
dikumandangkan setelah para wartawan-wartawan melewati masa yang sangat
genting. Hingga saat ini, pers adalah sumber terpercaya dalam menyebarluaskan
informasinya. Kejayaan pers dalam memberikan informasi sudah semakin tegak dan
tidak lagi dapat ditumbangkan dengan mudah oleh siapapun seperti pada masa
sebelumnya.
3.2. SARAN
Penulisan
makalah ini adalah sebagai salah satu sumber informasi yang kiranya mungkin
memiliki begitu banyak kekurangan. Penulis berharap pembaca dapat memberikan
timbal-baliknya setelah membaca makalah ini. Bagaimanapun penulis masih belajar
dan terus mencoba mengembangkan tulisannya agar lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ermanto, 2005. Wawasan Jurnalistik Praktis. Yogyakarta: Cinta Pena.
Komentar
Posting Komentar