Review Film Kim Ji-young, Born 1982: Pemberontakan Ideologi Patriarki di Korea Selatan
Kim Ji-young, Born 1982: Pemberontakan Ideologi Patriarki di Korea Selatan
Berawal dari rasa penasaran saya terhadap isu besar di dalam film ini, maka saya mau tak mau harus menonton film yang diangkat dari novel berjudul sama, yaitu Kim Ji-young, Born 1982. Novel ini ditulis Cho Nam-joo yang termasuk novel terlaris di Korea Selatan. Dirilis pada 14 Oktober 2016 lalu, novel ini menuai banyak kontroversi di masyarakat Korea Selatan. Akan tetapi, saya tidak membahas novelnya, saya akan membahas film ini yang berhasil membuat saya, yang seorang laki-laki berpikir, "Apakah saya termasuk golongan patriarki?"
Ini adalah film Korea kedua yang pernah saya tonton, setelah Parasite. Ketika pertama kali menonton film ini, saya dihadapkan dengan visual seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh hingga tiga puluh tahunan. Justru di usia yang menurut saya masih muda tersebut sosok perempuan di film ini tampak cukup tua. Adalah Kim Ji-young yang diperankan Jung Yu-mi. Sebagai sutradara, Kim Do-young berhasil menggambarkan sosok perempuan yang sekaligus menjadi ibu rumah tangga dengan berjibun kesibukan. Dimulai dari mencuci pakaian, memasak, mengurus seisi rumah, anak dan suami. Ji-young seorang ibu beranak satu dan kesan pertama saya melihat sosok wanita muda ini adalah mata dan tubuhnya yang tampak sangat lelah. Saya benar-benar mengapresiasi akting Yu-mi yang natural dan berhasil memerankan tokoh Ji-young.
Sebagai seorang perempuan dan ibu rumah tangga, Ji-young lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja di rumah. Bahkan, ketika ditanya suaminya, Dae-hyoun, yang diperankan Gong Yoo, "Kamu tidak mempersiapkan makananmu untukmu sendiri?". Akan tetapi, sang istri malah menjawab tidak. Dari awal saya melihat ada beban sangat besar di pundak Ji-young.
Kebetulan Dae-hyoun sangat memahami apa yang dialami istri tercintanya itu, maka ia mengajak keluarga kecilnya berlibur di rumah orang tua pihak suami. Sayang sungguh sayang, yang terjadi adalah Ji-young seolah menjadi pembantu di rumah tersebut. Ia lebih banyak bekerja mempersiapkan segala kebutuhan di rumah mertuanya itu. Dimulai dengan bangun pagi hingga seharian di dapur mempersiapkan makanan. Di dalam satu adegan, sang mertua memberikannya kado, Ji-young tampak sangat senang terhadap pemberian itu. Akan tetapi, ternyata isinya adalah celemek berwarna merah muda. Sungguh ini suatu sindiran bahwa Ji-young harus selalu berada di dapur. Hingga tibalah rasa penat Ji-young memuncak dan tidak sanggup berada di rumah mertuanya itu. Ia kemudian 'memberontak' ingin pergi ke rumah orang tuanya sendiri.
Sepanjang menonton film ini, saya dihadapkan dengan ironi yang sangat menyentuh, yaitu seorang perempuan yang tidak bisa lepas dari 'kewajibannya'. Meskipun di beberapa alur maju-mundur yang diciptakan Do-young tampak bahwa Ji-young adalah sosok wanita yang punya banyak mimpi, seperti salah satunya pergi ke Amerika Serikat suatu ketika ia dewasa. Ia juga wanita karir yang dikenal berprestasi. Hanya saja kodrat perempuan mengharuskan Ji-young tidak dapat melanjutkan karirnya karena harus menikah dan memiliki anak.
Dari beberapa artikel yang saya baca, cerita di film ini memang sangat terbuka mengkritik keadaan masyarakat di Korea Selatan. Ideologi patriarki masih sangat kental di negeri ginseng itu. Semua perempuan harus 'tunduk' kepada laki-laki dan hanya laki-laki yang selalu diistimewakan. Bahkan, perilisan film ini juga tak kalah kontra karena ditentang berbagai masyarakat Korea Selatan. Mereka menganggap bahwa film ini sangat tidak adil menggambarkan sosok laki-laki yang seolah menindas kaum perempuan.
Selain itu, ada banyak hal yang semakin membuat saya jauh berpikir apakah saya juga termasuk patriarki. Misalnya di dalam beberapa dialog yang menggambarkan bahwa banyak kaum laki-laki justru setres karena sepulang kerja harus melihat rumah yang berantakan dan anak yang menangis. Lebih parahnya adalah dialog-dialog sejenis itu disertai candaan yang saya pikir termasuk satire.
Tidak hanya 'menyerang' ideologi patriarki secara habis-habisan. Do-young di dalam film ini juga memberikan saran bahwa ketika Anda sudah merasa cukup setres, ada baiknya untuk pergi ke psikiater. Setidaknya, hanya untuk menceritakan keluh kesah yang terjadi di rumah. Itu adalah saran yang baik karena kebanyakan perempuan menyepelekan kesehatan mental mereka.
Feminisme di film ini semakin kental ketika ada sosok-sosok perempuan yang lebih memilih berkarir dibandingkan berumah tangga. Selain itu, terdapat pula bos Ji-young ketika ia masih bekerja dulu. Tokoh Bos Kim diperankan Park Sung-yeon memiliki jenjang karir yang baik. Akan tetapi, ketika di kantor Kim dianggap berhasil, justru di rumah ia dianggap oleh keluarganya sebagai anak perempuan, istri dan ibu yang gagal. Justru sebaliknya, di dalam film ini Ji-young sangat mengidolakan sosok bosnya itu. Ji-young menganggap Bos Kim berhasil menyingkirkan 'belenggu' bahwa perempuan tidak mungkin memiliki karir yang baik.
Secara keseluruhan saya sangat suka dengan berbagai sajian di film ini. Beberapa hal yang dimunculkan Do-young seolah membuat saya merasa gelap, seperti dialog yang satire, konflik batin Ji-young, sosok suami (Dae-hyoun) yang penuh pengertian hingga 'kejutan' yang membuat saya merasa semakin getir. Saya jadi berpikir jauh sekali bahwa betapa ideologi patriarki sangat mengekang kebebasan perempuan. Apalagi, ideologi tersebut hanya memperbolehkan perempuan berada di wilayah rumahnya sendiri. Perempuan itu tidak boleh bekerja atau berkarir, kecuali bekerja paruh waktu yang tidak boleh menyita banyak waktu agar 'kewajiban' seorang perempuan tidak terganggu.
Berawal dari rasa penasaran saya terhadap isu besar di dalam film ini, maka saya mau tak mau harus menonton film yang diangkat dari novel berjudul sama, yaitu Kim Ji-young, Born 1982. Novel ini ditulis Cho Nam-joo yang termasuk novel terlaris di Korea Selatan. Dirilis pada 14 Oktober 2016 lalu, novel ini menuai banyak kontroversi di masyarakat Korea Selatan. Akan tetapi, saya tidak membahas novelnya, saya akan membahas film ini yang berhasil membuat saya, yang seorang laki-laki berpikir, "Apakah saya termasuk golongan patriarki?"
Ini adalah film Korea kedua yang pernah saya tonton, setelah Parasite. Ketika pertama kali menonton film ini, saya dihadapkan dengan visual seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh hingga tiga puluh tahunan. Justru di usia yang menurut saya masih muda tersebut sosok perempuan di film ini tampak cukup tua. Adalah Kim Ji-young yang diperankan Jung Yu-mi. Sebagai sutradara, Kim Do-young berhasil menggambarkan sosok perempuan yang sekaligus menjadi ibu rumah tangga dengan berjibun kesibukan. Dimulai dari mencuci pakaian, memasak, mengurus seisi rumah, anak dan suami. Ji-young seorang ibu beranak satu dan kesan pertama saya melihat sosok wanita muda ini adalah mata dan tubuhnya yang tampak sangat lelah. Saya benar-benar mengapresiasi akting Yu-mi yang natural dan berhasil memerankan tokoh Ji-young.
Sebagai seorang perempuan dan ibu rumah tangga, Ji-young lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja di rumah. Bahkan, ketika ditanya suaminya, Dae-hyoun, yang diperankan Gong Yoo, "Kamu tidak mempersiapkan makananmu untukmu sendiri?". Akan tetapi, sang istri malah menjawab tidak. Dari awal saya melihat ada beban sangat besar di pundak Ji-young.
Kebetulan Dae-hyoun sangat memahami apa yang dialami istri tercintanya itu, maka ia mengajak keluarga kecilnya berlibur di rumah orang tua pihak suami. Sayang sungguh sayang, yang terjadi adalah Ji-young seolah menjadi pembantu di rumah tersebut. Ia lebih banyak bekerja mempersiapkan segala kebutuhan di rumah mertuanya itu. Dimulai dengan bangun pagi hingga seharian di dapur mempersiapkan makanan. Di dalam satu adegan, sang mertua memberikannya kado, Ji-young tampak sangat senang terhadap pemberian itu. Akan tetapi, ternyata isinya adalah celemek berwarna merah muda. Sungguh ini suatu sindiran bahwa Ji-young harus selalu berada di dapur. Hingga tibalah rasa penat Ji-young memuncak dan tidak sanggup berada di rumah mertuanya itu. Ia kemudian 'memberontak' ingin pergi ke rumah orang tuanya sendiri.
Sepanjang menonton film ini, saya dihadapkan dengan ironi yang sangat menyentuh, yaitu seorang perempuan yang tidak bisa lepas dari 'kewajibannya'. Meskipun di beberapa alur maju-mundur yang diciptakan Do-young tampak bahwa Ji-young adalah sosok wanita yang punya banyak mimpi, seperti salah satunya pergi ke Amerika Serikat suatu ketika ia dewasa. Ia juga wanita karir yang dikenal berprestasi. Hanya saja kodrat perempuan mengharuskan Ji-young tidak dapat melanjutkan karirnya karena harus menikah dan memiliki anak.
Dari beberapa artikel yang saya baca, cerita di film ini memang sangat terbuka mengkritik keadaan masyarakat di Korea Selatan. Ideologi patriarki masih sangat kental di negeri ginseng itu. Semua perempuan harus 'tunduk' kepada laki-laki dan hanya laki-laki yang selalu diistimewakan. Bahkan, perilisan film ini juga tak kalah kontra karena ditentang berbagai masyarakat Korea Selatan. Mereka menganggap bahwa film ini sangat tidak adil menggambarkan sosok laki-laki yang seolah menindas kaum perempuan.
Selain itu, ada banyak hal yang semakin membuat saya jauh berpikir apakah saya juga termasuk patriarki. Misalnya di dalam beberapa dialog yang menggambarkan bahwa banyak kaum laki-laki justru setres karena sepulang kerja harus melihat rumah yang berantakan dan anak yang menangis. Lebih parahnya adalah dialog-dialog sejenis itu disertai candaan yang saya pikir termasuk satire.
Tidak hanya 'menyerang' ideologi patriarki secara habis-habisan. Do-young di dalam film ini juga memberikan saran bahwa ketika Anda sudah merasa cukup setres, ada baiknya untuk pergi ke psikiater. Setidaknya, hanya untuk menceritakan keluh kesah yang terjadi di rumah. Itu adalah saran yang baik karena kebanyakan perempuan menyepelekan kesehatan mental mereka.
Feminisme di film ini semakin kental ketika ada sosok-sosok perempuan yang lebih memilih berkarir dibandingkan berumah tangga. Selain itu, terdapat pula bos Ji-young ketika ia masih bekerja dulu. Tokoh Bos Kim diperankan Park Sung-yeon memiliki jenjang karir yang baik. Akan tetapi, ketika di kantor Kim dianggap berhasil, justru di rumah ia dianggap oleh keluarganya sebagai anak perempuan, istri dan ibu yang gagal. Justru sebaliknya, di dalam film ini Ji-young sangat mengidolakan sosok bosnya itu. Ji-young menganggap Bos Kim berhasil menyingkirkan 'belenggu' bahwa perempuan tidak mungkin memiliki karir yang baik.
Secara keseluruhan saya sangat suka dengan berbagai sajian di film ini. Beberapa hal yang dimunculkan Do-young seolah membuat saya merasa gelap, seperti dialog yang satire, konflik batin Ji-young, sosok suami (Dae-hyoun) yang penuh pengertian hingga 'kejutan' yang membuat saya merasa semakin getir. Saya jadi berpikir jauh sekali bahwa betapa ideologi patriarki sangat mengekang kebebasan perempuan. Apalagi, ideologi tersebut hanya memperbolehkan perempuan berada di wilayah rumahnya sendiri. Perempuan itu tidak boleh bekerja atau berkarir, kecuali bekerja paruh waktu yang tidak boleh menyita banyak waktu agar 'kewajiban' seorang perempuan tidak terganggu.
Komentar
Posting Komentar