Midway (2019): Adu Strategi dan Kekuatan Jepang Vs Amerika Serikat di Laut Pasifik

"Kita sudah membangunkan raksasa tidur...."



Bahagia rasanya ketika penasaran saya terhadap lanjutan sejarah di film Pearl Harbor (2001) akhirnya terwujud. Ya, saya cukup lama menanti sejarah setelah perang di Pearl Harbor difilmkan, yakni film besutan Roland Emmerich, Midway (2019). Memang, pada tahun 1976 sejarah yang sama sudah difilmkan dengan judul yang sama, Midway. Namun, saya menanti hal baru dan lebih riil atas perang yang disajikan di film Midway (2019) ini. Kali ini saya tidak akan membahas ataupun membandingkan kedua film tersebut, di bawah ini hanya difokuskan film Midway yang resmi rilis November 2019 lalu. Berikut ulasan film Midway (2019) yang disutradarai Roland Emmerich.

Di awal film, Anda akan diberikan visualisasi berlatar di Taman Kiyosumi di Tokyo, Jepang pada 4 Desember 1937. Terdapat dua orang perwira militer yang sedang berusaha menangkap seekor bebek. Adegan kemudian beralih ke makan malam bersama diplomat beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris di rumah Laksamana Yamamoto. Patrick Wilson yang berperan sebagai Letnan Komandan Edwin T. Layton (utusan Amerika Serikat) kemudian berdiskusi dengan Laksamana Yamamoto, ada pembahasan tentang keadaan Jepang yang menginginkan perang.

Adegan kemudian beralih ke Kapal Induk Enterprise (USS Enterprise) di laut Pasifik. Para perwira angkatan laut Amerika Serikat sedang berlatih. Di hari Minggu itulah, 7 Desember 1941, berjarak 170 mil barat ke Pearl Harbor Jepang menyerang pangkalan militer milik Amerika Serikat. Serangan di pagi tenang itu meluluhlantakkan seluruh pasukan dan kapal perang Amerika, termasuk kapal induk milik negara adidaya tersebut (USS Arizona). Dimulai saat itu keteguhan dan keberanian pasukan angkatan laut Amerika diuji, termasuk yang paling emosi melihat kejadian itu adalah seorang perwira bernama Richard 'Dick' Best yang diperankan Ed Skrein. Bagaimana tidak, teman satu kamar ketika ia di akademi militer harus tewas dalam serangan membabi buta itu.

Sebelum serangan itu terjadi, Letnan Komandan Layton sudah memperingatkan bahwa mereka kehilangan jejak pasukan Jepang dan dicurigai sedang mempersiapkan serangan. Namun, peringatan dari badan intelejen militer Amerika itu tidak diindahkan Laksamana yang berwenang di pangkalan militer Pearl Harbor. Berawal dari serangan itulah terjadi adu strategi dan kekuatan antara Jepang dengan Amerika. Dilihat dari sisi kekuatan militer, Amerika hanya memiliki tiga kapal induk, beberapa kapal perang pendamping dan ratusan pesawat tempur, sedangkan Jepang memiliki sepuluh kapal induk beserta berbagai kapal perang pendamping dan ratusan pesawat tempur laut Pasifik. Terlebih lagi, saat itu, armada pasukan Jepang lebih canggih dibandingkan milik armada pasukan Amerika Serikat. Di sinilah diuji keadidayaan Amerika Serikat mempertahankan kedaulatannya di Pulau Midway (Atoll Midway).

Ada beberapa hal yang saya soroti di film ini. Dimulai dari alur, efek gambar, hingga akting beberapa aktor yang begitu menonjol. Saya akan membahasnya satu per satu.

Jika berbicara tentang alur, saya sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan alur film ini yang cukup monoton karena hampir seluruh film hanya dimunculkan berbagai ketegangan di lautan hingga daratan. Tidak ada lelucon yang mungkin bisa menghibur penonton di sela-sela ketegangan itu. Selain itu, saya justru merasakan perpindahan alur di awal film yang sedikit tidak rapi. Di dalam pikiran saya, "Loh, udah sampe sini ceritanya?", pertanyaan itu muncul ketika tiba-tiba alur sudah pindah di adegan yang lain. Intinya, di bagian awal film hingga menit tiga puluhan, alur terasa tidak begitu rapi. Namun selepas itu, saya sudah bisa menikmati berbagai adegan yang divisualkan sutradara. Apalagi beragam adegan perang yang cukup apik serta diselingi adegan cukup menyentuh antara Dick Best dengan istrinya Anne Best (diperankan Mandy Moore).

Lalu bagaimana dengan efek gambar? Film bertema perang memang diperlukan efek gambar yang memukau. Pasalnya adegan perang seperti ledakan, kapal terbakar dihantam rudal, hingga lautan yang menjadi latar film memerlukan teknologi CGI untuk memperhalus seluruh adegan tersebut. Sayang sekali, di film ini, yang menjadi kekurangan paling menonjol adalah efek gambar yang dapat saya katakan tidak halus sama sekali. Sangat tampak efek CGI tidak natural dilihat dari sisi manapun. Padahal di adegan-adegan ledakan, kapal terbakar dan lautan memerlukan kecanggihan teknologi dan menjadi daya tarik bagi penonton. Justru karena efek gambar yang tidak mulus, penonton akan merasa terganggu dengan hal tersebut. Selain itu, pemilihan warna gambar (tone) pun kurang terasa tahun empat puluhan.

Di balik semua itu, saya mengapresiasi akting Ed Skrein yang berperan sebagai perwira angkatan udara Amerika Serikat. Ia berperan sebagai Richard 'Dick' Best yang memiliki karakter angkuh dan percaya diri terhadap kemampuannya menerbangkan pesawat tempur. Ia berhasil membuat saya merasa jengkel ketika melihatnya begitu menyombongkan diri. Terlebih lagi, raut wajah angkuh sangat lekat di air mukanya. Namun, tidak serta-merta kesombongan yang ia miliki, Ed Skrein juga berhasil berperan ketika Dick Best mengalami kemunduran rasa percaya diri. Apalagi ketika ia diberikan tanggung jawab mengomandoi pasukan untuk menyerang pasukan tentara Jepang di Pulau Midway (Atoll Midway). Lagi-lagi, raut keputusasaan cukup lihai ia tunjukkan di wajahnya.

Tidak hanya Ed Skrein yang berhasil, ada pula Patrick Wilson yang memerankan perwira intelejen militer Amerika Serikat. Adalah Letnan Komandan Edwin T. Layton merupakan seorang intelejen yang mengomandoi penyadapan jalur komunikasi pasukan Jepang. Kali ini, Patrick Wilson keluar dari kesan cenayang yang biasanya ia perankan di film The Conjuring dan Insidious. Saya cukup terkesan dengan akting yang ia perankan di film Midway ini. Bagi saya, ia mampu menyingkirkan kesan cenayang tersebut.

Ada lagi yang membuat saya semakin terkesan, yaitu Woody Harrelson. Jika biasanya saya melihat Woody Harrelson berperan konyol di film Now You See Me dan Zombie Land, kali ini ia berperan sebagai seseorang yang lebih formal. Adalah Laksamana Chester W. Nimitz yang ditugaskan mengomandoi seluruh pasukan di Pearl Harbor dan memimpin perang untuk balas dendam ke Jepang. Sebagai Laksamana Nimitz, ia harus menahan diri untuk tidak banyak bicara, bukan tanpa alasan, Laksamana Nimitz memang orang yang tidak banyak omong, berwibawa dan terkenal atas loyalitasnya terhadap negara. Bisa dikatakan ia orang yang disegani. Bagi saya, Woody Harrelson berhasil memerankan sosok yang "dingin" ini. Bahkan saya kagum dengan ia yang berhasil mengubah kesan konyol dan berisik tersebut menjadi sosok yang diam dan berwibawa.

Secara keseluruhan, meskipun memiliki kekurangan, film ini layak ditonton bagi Anda yang gemar film sejarah. Apalagi yang ingin tahu visualisasi 'terbaru' setelah peristiwa serangan mendadak di Pearl Harbor. Kekurangan yang terdapat di film ini cukup terselamatkan dengan berbagai ketegangan yang divisualkan sutradara Roland Emmerich hingga akting aktor-aktornya yang bagi saya sukses berperan. Terima kasih sudah membaca ulasan saya dan selamat menonton!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Bacaan Buku Pengantar Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono