Makalah: Sastra Anak Sebagai Pembentuk Karakter Bangsa
SASTRA ANAK SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BANGSA
Diajukan Untuk PAB XXXI PPIPM
Bidang : Pendidikan
Pembimbing : Sovian Lubis
NA : 2309/XXX/2015
Oleh:
Nama/Nim : Fitra Wahyudi/15017063
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Allah SWT., berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas PAB XXXI PPIPM. Adapun judul
makalah yang telah penulis susun yaitu “Sastra Anak Sebagai Pembentuk Karakter
Bangsa”
Alasan penulis
memilih judul tersebut ialah mengingat minat baca di Indonesia sangatlah jauh
dari kata baik. Terlihat dari data yang dikeluarkan oleh UNESCO, minat baca
anak di Indonesia sangatlah rendah. Berdasarkan data tersebut, terlihat
persentase minat baca anak Indonesia sebesar 0,01%. Artinya, dari seratus anak
bangsa hanya ada satu orang yang gemar membaca (Kompas, 2015).
Atas dasar data
tersebut penulis tertarik untuk menginformasikan kepada pembaca fakta yang
terjadi. Namun, fokus permasalahan yang dipilih oleh penulis ialah minat baca
sastra anak. Menurut penulis, sastra anak bukan hanya sekadar bacaan biasa.
Namun, sastra anak adalah salah satu jalan untuk membentuk karakter bangsa.
Sastra anak seharusnya menjadi salah satu bacaan wajib anak-anak usia dini
khusunya di bawah lima tahun (balita).
Maka penulis
berharap makalah ini dapat berguna serta dapat menjadi salah satu sumber
informasi kepada pembaca tentang fakta minat baca sastra anak. Selain itu,
penulis berharap agar pembaca tidak hanya membaca makalah ini sebagai sumber
informasi utama. Tetapi, tetap membaca sumber informasi lain sebagai sumber
tambahan. Bagaimanapun penulis terus berusaha untuk menyajikan tulisan yang
benar-benar akurat. Terakhir, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh
pihak terkait yang menjadi bahan rujukan penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
Padang,
06 Oktober 2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
DAFTAR ISI .......................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH .............................................................
1
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH .......................................................................
2
C.
BATASAN
MASALAH ..............................................................................
2
D.
RUMUSAN
MASALAH ..............................................................................
2
E.
TUJUAN
PENELITIAN
...............................................................................
3
F.
MANFAAT
PENELITIAN
........................................................................... 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
..............................................................................................4
B. KERANGKA KONSEPTUAL .......................................................................9
BAB III METODE PENULISAN
A. JENIS PENELITIAN ...................................................................................
10
B. DATA DAN SUMBER DATA ....................................................................
10
C. INSTRUMEN PENELITIAN ......................................................................
10
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ...........................................................
10
BAB IV PEMBAHASAN
A. HUBUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN SASTRA ANAK
........................................................................................................................
11
B. MENANAMKAN MINAT BACA SASTRA ANAK ................................
12
C. MENGAPLIKASIKAN NILAI MORAL YANG DIDAPAT SETELAH MEMBACA SASTRA
ANAK .................................................................... 14
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
............................................................................................
16
B. SARAN
.........................................................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Di era globalisasi saat ini membuat segalanya menjadi canggih dan
mudah. Kecanggihan teknologi tidak pandang bulu menyerang pelbagai lapisan
masyarakat, mulai dari laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak hingga usia
lanjut. Siapapun yang tidak dapat mengendalikan diri, maka teknologi yang akan
mengendalikan manusia tersebut. Terlebih lagi di Indonesia, kemajuan teknologi
membuat masyarakat melupakan segalanya, termasuk pendidikan moral.
Pendidikan moral atau pendidikan karakter yang sudah diturunkan
sejak zaman nenek moyang saat ini mulai pudar. Adat dan budaya yang mengajarkan
kesopanan dan nilai-nilai moral ikut terkikis oleh arus globalisasi. Banyak
faktor yang menyebabkan terkikisnya karakter tersebut, seperti faktor
pendidikan bahkan kurangnya peran orangtua dalam kehidupan anak-anak. Di
Indonesia, pendidikan hanya membina ilmu-ilmu pengetahuan berupa teknologi dan
alam. Meskipun Pemerintah beberapa waktu lalu sudah mencanangkan langkah-langkah
demi membentuk karakter. Langkah-langkah tersebut di antaranya mengembalikan
nilai-nilai Pancasila dalam sistem pendidikan dan nilai-nilai keagamaan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila sudah merangkum semua
karakter yang diajarkan leluhur Indonesia. Misalnya sila pertama yang tidak
hanya mengajarkan ibadah secara vertikal kepada Tuhan, namun harus mampu
menjalankan ibada secara horizontal kepada sesama manusia. Misalnya
tolong-menolong, saling menghargai dan nilai-nilai lainnya.
Sistem yang direncanakan oleh pemerintah tersebut tampak kurang
efektif. Artinya, banyak anak-anak zaman sekarang masih belum memiliki
nilai-nilai moral. Oleh karena itu, penulis menawarkan solusi lain selain
Pancasila, yaitu sastra anak. Meski terlihat sederhana, sastra juga mampu
memberikan pesan-pesan berupa nilai-nilai moralitas kepada masyarakat
Indonesia. Terutama generasi penerus bangsa, yakni anak-anak usia dini yang
harus diemban untuk memiliki karakter bangsa. Karya-karya berupa legenda, dongeng,
dan puisi dolanan (permainan kata dan irama) merupakan beberapa karya
sastra yang baik untuk anak-anak. Karya-karya tersebut mengandung nilai-nilai
dan moral yang dapat dimanfaatkan untuk membentuk karakter anak. Membiasakan
anak-anak membaca dan memahami makna cerita anak dapat membuat mereka memiliki
karakter bangsa. Seperti yang dikatakan Winc (dalam Nurgiyantororo, 2004:109)
bahwa buku anak yang baik adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari
kacamata anak. Hal tersebut adalah isu fundamental dalam sastra anak. Selain
itu, dapat pula disebut sebagai salah satu dasar bagi anak-anak untuk memahami
makna untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia dan kehidupan yang
dijalaninya.
B.
IDENTIFIKASI MASALAH
Dari penjelasan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan
permasalahannya adalah sebagai berikut:
A.
Hakikat
dan tujuan pendidikan karakter
B.
Hakikat
sastra dan sastra anak serta manfaatnya
C.
Hubungan
pendidikan karakter dengan sastra anak
D.
Cara
menanamkan minat baca sastra anak
E.
Mengaplikasikan
nilai moral yang didapat dari sastra anak
C.
BATASAN MASALAH
Agar penelitian ini lebih terarah, terfokus serta tetap berada
dalam ruang lingkup penelitian, peneliti membatasi masalah penelitian pada
sastra anak sebagai pembentuk karakter anak. Adapun untuk menentukan peran
sastra sebagai pembentuk karakter anak ialah dengan mengumpulkan berbagai data.
D.
RUMUSAN MASALAH
Setelah
diidentifikasi, maka rumusan masalah yang diturunkan dari identifikasi masalah di
atas yaitu:
A.
Bagaimana
hakikat dan tujuan pendidikan karakter?
B.
Bagaimana
hakikat sastra dan sastra anak serta manfaatnya?
C.
Bagaimana
hubungan pendidikan karekter dengan sastra anak?
D.
Bagaimana
cara menanamkan minat baca sastra anak?
E.
Bagaimana
mengaplikasikan nilai moral yang didapat dari membaca sastra anak?
F.
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini yakni:
A.
Menginformasikan
hakikat dan tujuan pendidikan karakter .
B.
Menginformasikan
hakikat sastra dan sastra anak beserta manfaatnya.
C.
Menginformasikan
hubungan antara pendidikan karakter dengan sastra anak.
D.
Menginformasikan
cara-cara minat baca sastra anak.
E.
Memaparkan
aplikasi nilai moral yang didapat setelah membaca sastra anak.
G.
MANFAAT PENULISAN
Sebagai sebuah karya tulis ilmiah, manfaat yang terdapat dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
A.
Pembaca
terutama orangtua memperoleh informasi pendidikan karakter dan nilai moral
dalam sasatra anak.
B.
Orangtua
memperoleh informasi tentang sastra dan sastra anak serta manfaatnya.
C.
Pembaca
terutama orangtua memperoleh informasi cara membangun karakter bangsa dengan
membaca sastra anak.
D.
Selain
memperoleh informasi membangun karakter anak, orangtua juga memperoleh
informasi menumbuhkan minat baca anak dengan membaca karya sastra anak.
E.
Orangtua
dapat mengaplikasikan nilai moral yang didapat setelah membaca sastra anak
kepada anak-anak mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1.
Hakikat
Pendidikan Karakter
Ki Supriyoko
(dalam Muslich, 2011:75) menyatakan bahwa pendidikan adalah sarana strategis
untuk meningkatkan kualitas manusia. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan
cerdas dan berkarakter kuat itu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Dr. Martin
Luther King mengatakan intelegence plus character... that is the goal of
true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir
pendidikan yang sebenarnya). Artinya pendidikan haruslah mendidik siswanya
untuk berkarakter sebagai akhir dari tujuan pendidikan. Hal inilah yang utama
dalam pendidikan. Karena selain siswa yang tercerdaskan secara intelektual oleh
pendidikan, siswa dapat pula membentuk karakter melalui pendidikan yang
didapatnya.
Selanjutnya
agar lebih mudah memahami makna pendidikan karakter, akan dijelaskan struktur
antropologis manusia. Koesoema (dalam Mushlich, 2011:75) menjelaskan strukur
antropologis manusia terdiri atas jasad, ruh, dan akal. Lickona (1992)
menyebutkan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing
(pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan
moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak mampu
memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Istilah lainnya
adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk itu, dalam pendidikan
karakter harus mencakup semua struktur antropologis manusia tersebut. Oleh
karena itu, pendidikan sangat berkaitan erat dengan sistem antropoligis
manusia.
Dr. Sukamto
(dalam Muslich, 2011:79) menjelaskan nilai-nilai yang perlu diajarkan pada anak,
(1) kejujuran; (2) loyalitas dan dapat diandalkan; (3) hormat; (4) cinta; (5) ketidakegoisan
dan sensitifitas; (6) baik hati dan pertemanan; (7) keberanian; (8) kedamaian;
(9) mandiri dan potensial; (10) disiplin diri dan moderasi; (11) kesetiaan dan
kemurnian; dan (12) keadilan dan kasih sayang.
Bangsa
Indonesia menyepakati nilai-nilai yang diusung menjadi pandangan filosofis
kehidupan bangsanya. Nilai-nilai itu meliputi sila-sila Pancasila. Kemudian
timbul pertanyaan apa hubungan nilai-nilai di atas dengan sila-sila
Pancasila? Pancasila yang pada hakikatnya merupakan perwakilan dari
nilai-nilai kehidupan bangsa yang telah
diajarkan sejak zaman nenek moyang, tentu memiliki hubungan dengan nilai-nilai
di atas. Hubungan tersebut berupa nilai-nilai yang tersebutkan di atas
merupakan interpretasi dari nilai-nillai yang terkandung di dalam sila-sila
Pancasila. Selain itu, nilai-nilai Pancasila selaras dengan nilai-nilai yang
kita sebut sebagai lima pilar karakter berikut:
a.
Transedensi. Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan. Kesadaran
tersebut juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu
memakmurkannya.
b.
Humanisasi. Setiap manusia pada hakikatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu
dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang
memiliki potensi.
c.
Kebinekaan. Kesadaran akan ada sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi,
mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan.
d.
Liberasi. Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Oleh karena itu, tidak
dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia.
e.
Keadilan. Keadilan merupakan kuci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama,
tetapi proposional. Muslich (2011:80)
2.
Fungsi
Pendidikan Karakter
Muslich (2011:81) menjelaskan tujuan pendidikan karakter adalah untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peseta didik secara uttuh,
terpadu, dan seimbang. Lebih lanjut Muslich menambahkan melalui pendidikan
karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari. Selain itu dijelaskan juga pada tingkat instisusi,
pendidikan karakter mengarah pada pembentukan budaya sekilah, yaitu nilai-nilai
yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan masyarakat sekitar
sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra
sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Maka sangatlah jelas bahwa pendidikan karakter sangat dibutuhkan
untuk membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Dilihat dari tujuan pendidikan karakter juga dapat dipahami bagaimana
pendidikan karakter berguna sebagai pembentuk karakter bangsa.
3.
Hakikat
Karya Sastra dan Sastra Anak
Sebelum membicarakan sastra anak, terlebih dahulu akan dijelaskan
pengertian sastra. Sastra adalah sebuah lembaga sosial yang menggunakan bahasa
sebagai medium: bahasa itu merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan
gambaran kehidupan-kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono
dalam Priyatni, 2010:12). Artinya sastra sebagai sebuah karya lahir dari
lingkungan sosial yang kemudian ditorehkan ke dalam sebuah medium yang berupa
bahasa.
Hampir senada dengan pendapat Damono, George Lukas (dalam
buguruesde 2012) menyatakan bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang
memberikan kepada kita sebuah refleksi realita yang lebih besar, lebih lengkap,
lebih hidup, dan lebih dinamik. Dalam hal ini, Lukas menjelaskan dengan lebih
detail arti dari sebuah sastra. Lukas menggunakan kata cermin yang berarti
segala sesuatu akan terpantulkan apabila tepat berada di depan cermin tersebut.
Oleh karena itu, Lukas menganggap bahwa sastra ialah pantulan dari kehidupan
realita yang lebih jelas pesannya tersampaikan kepada pembaca.
Kemudian Altenbernd dan Lewis (dalam Priyatni, 2010:12) menambahkan
bahwa meskipun karya sastra bersifat imajiner atau fiksi, namun tetap masuk
akal dan mengandung kebenaran. Pendapat Altenbernd dan Lewis menambah poin
sebuah karya sastra yang mengandung hal-hal kebenaran meskipun hadir dalam
karya fiksi atau imajiner.
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan
keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan
pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan (Nurgiyantoro dalam Priyatni,
2010:12). Nurgiyantoro menutup keraguan yang muncul kepada karya sastra dengan
berpendapat bahwa kebenaran dalam karya sastra memang berasal dari keadaan
hidup dan kehidupan yang berada di sekitar pengarang.
Maka karya sastra adalah sebuah karya imajinatif yang berasal dari
latar belakang kehidupan sosial pengarang yang dituangkan dalam sebuah wadah
berupa bahasa. Meskipun sebuah karya imajiner, tetapi sastra tetap memiliki
hal-hal benar yang berasal dari kehidupan di sekitar pengarang tersebut.
Sebagai sebuah karya, sastra anak memiliki arti yang lebih sempit
dari karya sastra. Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis sastra
anak-anak tidak perlu dipermasalahkan asalkan dalam penggambarannya ditekankan
pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka. Maksudnya
adalah sastra anak haruslah berlatar belakang kepada kehidupan anak yang
tentunya harus memiliki nilai yang bermakna bagi anak-anak.
Lebih lanjut Norton (1993) berpendapat bahwa sastra anak-anak
adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui
pandangan anak-anak. Hal yang lebih detail dijelaskan oleh Norton yang
menyatakan bahwa sastra anak haruslah selalu berbau anak, baik perasaan maupun
pengalaman yang didasari pandangan anak-anak.
Pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh Puryanto (2008:2) yaitu sastra
anak merupakan sastra yang ditujukan untuk anak, bukan sastra tentang anak.
Sastra tentang anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi
sastra untuk anak sudah tentu sengaja dan disesuaikan untuk anak-anak selaku
pembacanya. Kedua perbedaan tersebut mungkin sering disalahartikan oleh pembaca
atau bahkan penulis. Meskipun tampak hampir sama, tetapi jelas sastra untuk
anak dengan sastra tentang anak berbeda, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
4.
Manfaat
Sastra Anak
Anak-anak akan merasakan bagaimana memikul penderitaan dan
mengambil resiko, juga akan ditantang untuk memimpikan berbagai mimpi serta
merenungkan dan mengemukakan berbagai masalah mengenai dirinya sendiri, orang
lain dan dunia sekitarnya (Huck, 1987). Sesuai dengan pendapat Huck tersebut,
sastra anak harus mampu menampilkan suatu permasalahan yang dapat dicerna
anak-anak dan memiliki kesan yang dapat selalu dibayangkan oleh anak-anak.
Selain itu, terdapat pula manfaat sastra anak dari unsur intrinsik
yang terkandung dalam karya sastra anak-anak, yaitu : (1) memberi kesenangan,
kegembiraan, dan kenikmatan bagi anak-anak, (2) mengembangkan imajinasi anak
dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, kehidupan, pengalaman
atau gagasan dengan berbagai cara, (3) memberikan pengalaman baru yang seolah
dirasakan dan dialaminya sendiri, (4) mengembangkan wawasan kehidupan anak
menjadi perilaku kemanusiaan, (5) menyajikan dan memperkenalkan anak terhadap
pengalaman universal dan (6) meneruskan warisan sastra.
Lebih lanjut manfaat sastra anak dari unsur ekstrinsik adalah
sebagai berikut: (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan kognitif, (3)
perkembangan kepribadian, dan (4) perkembangan sosial. Sastra yang terwujud
untuk anak-anak selain ditujukan untuk mengembangkan imajinasi, fantasi dan
daya kognisi yang akan mengarahkan anak pada pemunculan daya kreativitas juga
bertujuan mengarahkan anak pada pemahaman yang baik tentang alam dan lingkungan
serta pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri sendiri maupun orang
lain. Manfaat sastra anak dari unsur ekstrinsik di atas dapat mengembangkan
pengetahuan sang anak. Terutama perkembangan sosialnya, anak-anak akan dapat mengambil
pesan yang disajikan oleh penulis.
B.
KERANGKA KONSEPTUAL
Puisi dolanan
|
Nilai-nilai yang Terkandung
|
Karakter
|
Dongeng
|
Legenda
|
Sastra
|
Sastra Anak
|
BAB III
METODE PENULISAN
A.
JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode deskripsi. Menurut Moloeng (2012: 6), penelitian kuallitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh
subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
B.
DATA DAN SUMBER DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku
yang terkait dengan pendidikan serta buku-buku tentang fungsi sastra sebagai
suatu karya fiksi imajinatif.
C.
INSTRUMEN PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen
utama yang membaca, melihat, memahami, dan mengidentifikasi hal-hal yang
berkaitan dengan Sastra Anak Sebagai Pembentuk Karakter Bangsa.
D.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam makalah ini yaitu melakukan
studi kepustakaan dengan masalah penilitian. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
pemahaman serta data konkret berkaitan dengan masalah penilitan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
HUBUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN SASTRA ANAK
Sastra anak dapat berkisah apa saja, bahkan yang menurut
orang dewasa tidak masuk akal. Misalnya kisah tentang binatang yang dapat
berbicara, bertingkah laku, berpikir dan berperasaan layaknya manusia.
Imajinasi dan emosi anak dapat menerima cerita semacam itu secara wajar dan
memang begitulah seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak (Nurgiyantoro).
Lebih lanjut Nurgiyantoro menyebutkan bahwa cerita yang
demikian bukannya tanpa moral dan anak pun akan mengidentifikasi diri secara
sebaliknya. Artinya, sastra anak dapat bercerita apa saja, namun harus dapat
memberikan informasi dan pemahaman yang baik agar anak-anak mampu mendapatkan
makna dari cerita teresebut. Dalam hal ini penulis adalah pondasi utamanya.
Apabila penulis tidak mampu merealisasikan semua yang diungkapkan Nurgiyantoro
di atas, maka anak-anak tidak akan mendapatkan nilai-nilai yang ingin
disampaikan.
Kemudian Winc (dalam Nurgiyantororo, 2004:109) mengatakan
bahwa buku anak yang baik adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata
anak. Hal tersebut merupakan isu fundamental dalam sastra anak. Selain itu, hal
tersebut salah satu dasar bagi anak-anak untuk memahami makna untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia dan kehidupan yang dijalaninya. Penulis tidak boleh
memasukkan pandangannya di dalam buku anak. Artinya, buku tersebut haruslah
sederhana dan mudah dipahami anak-anak.
Paul Hazard (1947, via Saxby, 1991:5) menekankan kebutuhan
anak secara metaforis: “Give us books”, say the children, “give
us wings”. Yang bermakna, “berikan kami buku”, anak-anak berkata, “berikan
kami sayap”. Hazard membandingkan memberikan buku kepada anak-anak maka akan
sama dengan memberikan sayap kepada mereka. Seperti pepatah menyebutkan “buku
adalah jendela dunia”. Memberikan anak-anak buku di saat pola pikir mereka yang
berkembang akan sama dengan membentuk karakter mereka. Terutama buku-buku yang
berisi tentang moral-moral, anak-anak akan mudah belajar moral dari buku-buku
tersebut.
Saxby
(dalam Nurgiyantoro, 2004: 214) mengemukakan bahwa kontribusi sastra anak
tersebut membentang dari dukungan terhadap pertumbuhan berbagai pengalaman
(rasa, emosi, bahasa), personal (kognitif; sosial, etis, spriritual),
eksplorasi dan penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan. Sementara
itu, Huck, dkk. (dalam Nurgiyantoro, 2004: 214) mengemukakan bahwa nilai sastra
anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai
personal (personal values) dan nilai pendidikan (educational values)
dengan masing-masing masih dapat dirinci menjadi sejumlah subkategori nilai.
B.
MENANAMKAN MINAT BACA SASTRA ANAK
Suatu hal yang ironi dewasa ini adalah kurangnya minat baca yang
dilakukan anak-anak. Data yang dikeluarkan oleh UNESCO, minat baca anak di
Indonesia sangatlah rendah. Berdasarkan data tersebut, terlihat persentase
minat baca anak Indonesia sebesar 0,01%. Artinya, dari seratus anak bangsa
hanya ada satu orang yang gemar membaca (dalam Kompas, 2015).
Pelbagai masalah yang menyebabkan minimnya minat baca pada anak.
Dalam portal berita tersebut, lebih jelas dikatakan bahwa penyelenggaraan
perpustakaan yang bertujuan melayani masyarakat harus mampu menyentuh kebutuhan
masyarakat. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk memandang penting membaca
sangatlah minim. Tidak dibiasakannya anak-anak untuk membaca sejak usia dini
dinilai menjadi kesalahan orangtua. Orangtua harusnya mampu membiasakan
anak-anaknya untuk membaca sejak usia dini, mengingat membaca sangatlah
penting. Selain itu, kebersamaan orangtua dengan anak-anak juga menjadi
faktornya. Misalnya, membacakan dongeng-dongeng saat anak hendak tidur ataupun
meluangkan waktu dengan bermain bersama anak-anak mereka.
Kemudian muncul permasalahan, bagaimana menumbuhkan minat baca
sastra anak bagi anak-anak? Seperti yang telah diungkapkan di atas, sastra anak
dapat berkisah apa saja, bahkan yang menurut orang dewasa tidak masuk akal.
Misalnya kisah tentang binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir
dan berperasaan layaknya manusia. Imajinasi dan emosi anak dapat menerima
cerita semacam itu secara wajar dan memang begitulah seharusnya menurut
jangkauan pemahaman anak (Nurgiyantororo).
Lebih lanjut Lukens (1999:14-30) mengelompokkan genre (aliran) sastra
ke dalam enam macam yakni, realisme, fiksi formula, fantasi, sastra
tradisional, puisi, dan nonfiksi. Drama sengaja tidak dimasukkan karena
menurutnya, drama baru lengkap setelah dipertunjukkan dan ditonton, bukan
semata-mata urusan bahasa-sastra. Apabila penulis mampu merealisasikan
pendapat-pendapat di atas ke dalam sebuah karya sastra yang dikhusukan kepada
anak-anak. Bukan menjadi hal yang tidak mungkin anak-anak akan semakin gemar membaca
karya sastra anak. Karena imajinasi anak-anak akan berkembang dalam membaca
karya sastra anak, penulis harus mampu menyeimbangkan imajinasi tersebut dan
tidak mengurangi pesan yang terkandung dalam sastra anak. Sastra anak yang
banyak berkisah tentang kehidupan baik manusia, tumbuhan, binatang, maupun
kehidupan yang tidak masuk akal lainnya. Namun imajinasi tersebut yang
dibutuhkan anak-anak untuk mengembangkan pola pikirnya.
Selain penulis yang dituntut agar menulis karya sastra anak sesuai
dengan porsi anak, artinya haruslah khusus diperuntukkan bagi anak-anak. Yang
menjadi perhatian berikutnya adalah fasilitas membaca yang dinilai kurang
memadai. Apalagi di Indonesia, fasilitas membaca atau perpustakaan yang masih
kalah jauh dengan kebutuhannya menjadi salah satu faktor kurangnya minat baca
anak. Data menyebutkan dari sekitar 180.000 MI/SD hanya sekitar 5000 sekolah
inti yang mempunyai perpustakaan layak. Itupun masih belum terpenuhi dengan
fasilitas memadai. Yang disebut perpustakaan sering hanya tumpukan buku di
lemari bahkan yang terdapat di ruang kepala sekolah (Kompas, 20 Juni 2006).
Faktor berikutnya adalah kesadaran orangtua dalam membantu
menumbuhkan minat baca sastra anak bagi anak-anak. Orangtua diharapkan
menyadari bahwa sastra anak juga penting dalam pertumbuhan pola pikir anak.
Orangtua tidak hanya sekadar mengenalkan sastra anak tersebut, tetapi harus
turun tangan langsung dalam mengintepretasikan sebuah karya sastra anak. Banyak
cara yang dapat dilakukan orangtua. Misalnya, membacakan dongeng-dongeng maupun
legenda-legenda kepada anak-anak mereka saat sebelum tidur maupun untuk
anak-anak yang berusia di bawah lima tahun dibiasakan dengan bermain kata-kata
secara rima dan irama (puisi dolanan). Selain membacakan karya-karya
tersebut, orangtua diharapkan membantu anak-anak mereka untuk memaknai cerita
agar dapat memperoleh nilai-nilai yang terkandung. Kebersamaan orangtua dengan
anaknya akan menyambung benang merah keduanya. Hal tersebut dibutuhkan agar
anak-anak mereka lebih mudah mendapatkan pelajaran moral baik dari keluarga
maupun dari hal-hal yang mengajarkan moral.
Faktor terakhir adalah guru harus mampu memberikan pengajaran
sastra yang baik kepada anak-anak usia dini. Karena pengajaran yang monoton
serta tidak menarik, membuat anak-anak tidak menyukai karya sastra anak. Hal
ini merupakan permasalahan yang terjadi di kelas. Selain itu, guru juga harus
memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk menyampaikan pesan-pesan yang
mereka dapat setelah membaca karya sastra anak. Dengan begitu mereka akan lebih
teliti dalam memahami karya sastra anak dan mampu mengenal makna dari
cerita yang mereka baca sendiri. Dalam
hal ini, guru hanya akan meneruskan apa yang telah dilakukan oleh orangtua di
rumah. Misalnya, para guru meminta kepada para murid mereka untuk bercerita
tentang nilai moral yang mereka dapatkan dari cerita yang dibacakan oleh orang
tua di rumah. Kolaborasi orangtua dengan guru tersebut akan membantu anak
membentuk karakternya.
C. MENGAPLIKASIKAN NILAI MORAL YANG DIDAPAT SETELAH MEMBACA SASTRA
ANAK
Sesuai yang dijelaskan sebelumnya, tujuan pendidikan karakter ialah
membentuk karakter dan akhlak mulia yang secara utuh, terpadu, dan seimbang.
Tentunya tujuan itu akan terealisasikan apabila anak-anak telah dibina untuk
membentuk karakter tersebut. Telah dijelaskan juga sebelumnya bahwa selain
Pancasila, sastra anak juga mampu membentuk karakter bangsa sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra anak. Setelah anak-anak
membaca dan memahami karya sastra anak, maka anak-anak dapat mengaplikasikan
nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Pola pikir anak akan terbentuk setelah mengetahui bahwa dengan
rajin dan suka menolong akan membuatnya berprestasi serta mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Tidak hanya itu, kisah-kisah yang dinilai “tidak baik” seperti
anak pemalas, orang jahat, serta binatang yang jahat atau bahkan kisah-kisah
seperti akibat seorang anak yang melawan orangtuanya juga turut membentuk
karakter mereka. Kisah-kisah tersebut akan menjauhkan mereka dari
teman-temannya serta cenderung berprilaku tidak baik.
Setelah mempelajari kisah-kisah di atas, mereka diarahkan untuk
merealisasikan ke dalam kehidupan sehari-harinya. Membiasakan anak-anak untuk
membaca sastra dan diperdengarkan kisah-kisah yang mengandung sastra anak,
merupakan hal yang harus diperhatikan oleh semua pihak. Yang tidak kalah
pentingnya adalah realisasi dari sastra anak tersebut. Orangtua serta guru-guru
harus mendampingi dan mengarahkan anak-anak untuk merealisasikan nilai-nilai
yang terkandung dalam sastra anak. Misalnya, setelah membaca dongeng Pak
Belalang. Dongeng tersebut mengandung nilai untuk tidak berbohong meski dalam
keadaan susah sekalipun. Karena suatu kebohongan, harus ditutupi dengan
kebohongan lainnya. Anak-anak diarahkan untuk mengakhiri kebohongan yang telah
dilakukannya. Kebohongan akan selalu berbuntuk kebohongan lainnya. Hal yang
diharapkan selanjutnya ialah orangtua atau guru-guru untuk tidak memarahi
anak-anak yang berbohong. Memarahi atau bahkan membentak anak-anak akan
membentuk karakter mereka menjadi anak yang melawan. Anak-anak cenderung tidak
jera apabila terlalu sering dimarahi. Sebaiknya orangtua atau guru memberikan
pengarahan atau pencerahan kepada anak-anak mereka. Solusi tersebut dinilai
cukup efektif untuk membentuk karakter anak-anak.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan karakter sebagai pondasi pembentuk karakter bangsa tidak
hanya didapatkan dari nilai-nilai Pancasila. Namun, terdapat pula dalam
kisah-kisah cerita anak. Nilai-nilai yang terkandung dalam kisah-kisah itu akan
membentuk pola pikir anak sehingga dapat membentuk karakter bangsa.
Cerita-cerita dalam karya sastra harus direalisasikan agar anak-anak terbiasa
dengan nilai-nilai yang baik dan cenderung menjauhi keburukan.
Satu hal yang pasti saat ini adalah minat baca anak yang sangat
miris. Seperti minat baca yang telah dijelaskan di atas, Indonesia memiliki
persentase yang sangat kecil yakni 0,01% saja. Artinya dalam seratus anak
bangsa hanya ada satu orang yang gemar membaca. Perlu kiranya Indonesia
berbenah dalam hal menumbuhkan minat baca ini. Mengingat pentingnya membaca dan
sebagai jalan untuk menambah pendidikan karakter dari membaca sastra anak.
Membaca karya sastra anak seperti sekali pukul dua nyamuk mati sekaligus.
Artinya, membaca karya sastra selain membentuk karakter anak, juga membentuk kebiasaan
anak untuk membaca.
B.
SARAN
Penulis memberi saran kepada semua pihak agar saling bekerjasama
untuk membentuk karakter bangsa dari pendidikan karakter. Salah satu jalannya
ialah membaca sastra anak kepada anak-anak usia dini. Agar minat baca yang saat
ini sangat miris di Indonesia kembali baik, perlu kiranya semua hal yang telah
diungkapkan sebelumnya oleh penulis diperhatikan. Hal-hal tersebut ialah
penulis, fasilitas, kesadaran orangtua, dan pengajaran guru. Keempat hal
tersebut harus saling berkoordinasi agar pendidikan karakter yang saat ini
menjadi topik pembicaraan dapat terwujud serta karakter bangsa dapat kembali
terbentuk.
DAFTAR
PUSTAKA
Buguruesde. 2012. “Pembelajaran Sastra”. Wordpress, (https://buguruesde.wordpress.com/tag/sastra-anak/), diakses 20 Mei 2016.
Muslich,
Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nurgiyantoro, Burhan. 2004. “Sastra Anak: Persoalan Genre”. Jurnal, (http://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/811/653), diakses 21 Mei 2016.
Nurgiyantoro, Burhan. 2004. “Kontribusi Sastra Anak Dalam
Pembentukan Kepribadian anak”. Jurnal,
(journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/download/4854/4204),
diakses 05 Oktober 2016.
Priyatni,
Endar Tri. 2010. Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Selamet
Priyatin. 2015. “Yayuk Basuki: Minat Baca Anak Indonesia Hanya0,01%”. Kompas, (http://regional.kompas.com/read/2015/05/25/17565591/Yayuk.Basuki. Minat.Baca.Anak.Indonesia.Hanya.0.01.Persen), diakses 21 Mei 2016.
Komentar
Posting Komentar